ASSALAMU'ALAIKUM Wr Wb. GIMNA KABAR TEMAN-TEMAN NARQWE MOGA SLALU DALAM LINDUNGAN SANG PENGUASA LANGIT DAN BUMI AND PESAN BUAT TEMAN-TEMAN NARQWE KITA HARUS SLALU MENJAGA NAMA BAIK NARQWE MAN HAYS LATEST OKE.......

NARQWE (MAN HAYS LATEST)

Rabu, 29 September 2010

Raih Cita-cita dengan ‘Man Jadda Wajada’

Man Jadda Wajada.” Eits…ini bukan rapalan sihir ataupun rumus mantra pengasihan. Kalimat berbahasa Arab ini artinya kurang lebih adalah, siapa yang bersungguh-sungguh maka dia pasti berhasil. Siapa pun yang menerapkan rumus tersebut, bisa dipastikan akan mencapai tujuannya dengan gemilang. Siapa pun di sini bisa saja orang kafir atau bahkan orang yang beriman. Rumus ini tidak pandang bulu dan tidak hanya diperuntukkan bagi orang mukmin saja.
Rumus Man Jadda Wajada ini selaras dengan Maha Pengasih-nya Allah yang memberi rezeki kepada semua makhluk tidak peduli ia kafir atau beriman. Ambil sebagai contoh Bill Gates. Meskipun kafir, tapi ia bersungguh-sungguh di bidang computer sehingga jadilah ia orang yang kaya raya dari bisnis computer sebagai penemu Microsoft. Lalu ada juga Hugh Hefner pendiri majalah porno Playboy, Madonna yang artis seronok, JK Rowling si pengarang Harry Potter, Oprah Winfrey si pembawa acara terkenal dan masih banyak lagi yang lainnya sukses karena mereka bersungguh-sungguh di bidangnya.
Itu sebagian nama dari orang sukses di luar negeri. Dari dalam negeri mulai dari Inul dengan goyang ngebornya, Trio Macan yang erotis, Tukul Arwana, hingga Ustadz Yusuf Mansur dengan konsep sodaqohnya, Jefrey Al-Bukhori, Aa’ Gym, dll adalah sedikit nama yang telah mendulang keberhasilan di dunianya masing-masing.
Ya, memang tidak semua keberhasilan mereka patut ditiru. Sebagian mereka hanya mengejar keberhasilan di dunia tapi menginjak-injak moral.
See, ternyata semua bisa sukses tanpa memandang apakah itu aktivitas haram semisal goyang ngebor dan mendirikan majalah porno, ataukah aktivitas kebaikan semisal menjadi dai tersohor. Di sini berlaku hukum alam atau sunnatullah bahwa siapa pun yang berusaha maksimal maka ia akan menuai hasilnya. Halal dan haram itu tergantung pilihan manusianya. Pilihan ini mengandung resiko masing-masing yang itu semua ada pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak.
Nah, orang kafir saja bisa mendulang sukses bila dia berusaha sungguh-sungguh, apalagi kita sebagai orang yang beriman, tentunya harus lebih baik lagi donk. Usaha yang kita lakukan bukan melulu usaha yang mengejar kesuksesan dunia saja sebagaimana orang kafir itu. Usaha orang yang beriman itu orientasinya melesat hingga jauh ke depan yaitu sebagai bekal di akhirat kelak. Jadi ikhtiar atau usahanya harus jauh lebih maksimal daripada orang-orang kafir itu. Tambahan lagi, bidang yang digeluti oleh orang-orang beriman sudah pasti bidang yang halal bukan bidang maksiat sebagaimana yang dilakukan Om Hugh Hafner, Madonna, dan si Inul.
Most of all alias di atas itu semua, kita sebagai orang yang beriman punya Allah yang Mahamemiliki seluruh langit dan bumi. Allah itu Mahakaya jadi jangan pernah takut miskin dan gagal. Jangan pernah takut mencoba karena backing kita adalah Yang Mahasegalanya.
Kamu yang ingin jadi ilmuwan bertakwa selevel Ibnu Sina yang ahli kedokteran plus juga hafizh Qur’an, atau kamu yang ingin jadi pengusaha muslim sukses, ingin jadi penulis hebat nyaingin JK Rowling, jadi ahli computer melebihi Bill Gates, semua itu pasti bisa kamu capai, insya Allah. Intinya bersungguh-sungguhlah kamu mulai sekarang, detik ini untuk meraih semua cita-citamu yang mulia itu. Dengan izin Allah, tak ada yang tak mungkin dalam kehidupan kaum mukminin itu. So, berjuang mulai sekarang ya. Yihaa….bismillah, dengan kekuatan usaha dan doa, Man Jadda Wajada pasti bisa terwujud. Selamat meraih cita-citamu yah ^_^
Sabar dan kesuksesan
Ada satu pertanyaan yang selalu mengusik banyak orang, yaitu apa kunci kesuksesan itu...? banyak orang merenung untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, sebagian ada yang mendapatkan jawaban dan banyak pula yang gagal untuk mendapatkannya. Mana ada orang yang tidak ingin sukses atau berhasil? Baik dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat, kecuali orang tersebut memang sudah berniat dan berusaha mencari kegagalan bagi dirinya.

Banyak buku-buku yang membicarakan kiat-kiat untuk mendapatkan kesuksesan, baik yang ditulis oleh orang-orang Barat atau oleh orang-orang Arab, muslim atau non muslim, kalau kita mau menelitinya, akan nampak bahwasanya yang namanya kesuksesan itu selalu diawali dengan kerja keras terlebih terdahulu. Jarang –kalau tidak ingin dikatakan tidak ada– orang-orang yang sukses di dunia ini mendapatkan kesuksesannya dengan hanya bersantai-santai, berleha-leha. Patut untuk direnungi pula bahwasaya untuk mendapatkan kebatilan saja orang harus berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkannya.

Seorang manager terkenal pernah bercerita, bahwa dia dahulu hanyalah seorang tukang cuci piring disebuah restoran, ia tidak pernah mengenyam bangku pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Tapi karena kegigihan dan usaha yang keras dan tidak tanggung-tanggung, yang tadinya hanya seorang tukang cuci piring bisa menjadi manager terkenal.

Seorang yang bisa mendapatkan gelar doktor terkenal, tidak mungkin dicapai hanya dengan bersantai-santai saja, atau ketika masih manjadi seorang siswa hanya tidur-tiduran saja kerjanya. Juga tidak mungkin ia dapati gelar doktor dalam tempo yang singkat, setahun atau dua tahun.

Seorang pencuri ulung atau seorang preman terkenal dan menjadi boss di suatu daerah. Apakah ia dapati dengan sebegitu mudah kedudukannya atau gelar tersebut, tentu tidak. Dia harus mempersiapkan secara matang, bagaimana cara untuk menghadapi lawan saingannya, minimal ia harus menggali ilmu-ilmu atau keahlian yang tidak atau jarang dimiliki oleh oleh orang lain, seperti cara merampok yang aman dan sukses. Tak jarang orang model begini memiliki ilmu-ilmu yang mendukung usahanya, entah itu tenaga dalamnya agar tak mempan dibacok atau tak mempan ditembak peluru asal jangan roket aja. Semua kemampuan yang ia miliki tidak mungkin didapati dengan sebegitu mudah dan dalam tempo yang singkat. Singkat kata, dibutuhkan usaha keras dan keuletan hingga mencapai gelar yang diinginkan.

Sebagai seorang da’i, agar sukses dakwah yang diembangnya, tentu memerlukan usaha maksimal yang terus-menerus dan berkesinambungan. Seorang da’i akan selalu menemui halangan serta rintangan yang menghadang jalan dakwahnya.

Mempertahankan suatu idealisme bukanlah suatu hal yang mudah dan sederhana. Bersamaan dengan berjalannya waktu idealisme yang kita miliki akan terkikis habis hingga menjadi punah, apalagi jika kita memiliki menta-mental tempe.

Dari sekian banyak kiat untuk mencapi kesuksesan tersebut, adalah kesabaran dan keuletan kerja. Dari kesabaran akan melahirkan berbagai kekuatan dan kemampuan tersembunyi yang kita miliki tanpa kita sadari.

Nilai dari sabar menurut pengertian pakar ahli keksuksesan sekuler (non Islam) sangat berlainan sekali dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam ajaran Islam, terutama tujuan yang ingin dicapai dan metode pencapaian tujuan tersebut. Kesuksesan yang ingin dicapai ajaran non Islam hanya berkaitan dengan tujuan keduniawian dan materi semata, dalam arti kata kesabaran yang mereka laksanakan demi hal-hal yang duniawi sifatnya dan materialistik. Kesabaran yang mereka lakukan hanya untuk mengeruk penghasilan atau laba yang sebanyak-banyaknya, seseorang akan bersabar karena bertujuan mendapatkan jabatan yang tinggi atau mempertahankan jabatan yang dipegangnya.

Lain halnya dengan ajaran Islam, Islam menginginkan kesuksesan dunia akhirat, juga kesuksasan yang dicapai tidak saja untuk meraih hal-hal yang bersifat materi saja, tapi juga yang non materi. Seorang muslim melakukan kesabaran selalu demi mencapai keridhoan-Nya dan demi tujuan dunia akhirat. Allah berfirman dalam ayat-Nya:

"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu sukses" (Q.S Ali Imran:200)

Kesabaran memang sudah menjadi tabiat seorang mukmin sejati. Rosulullah pernah bersabda

"Sangat mengagumkan kondisi orang mukmin, sebab segala keadaannya untuk dia sangat baik dan tidak mungkin terjadi yang demikian kecuali bagi seorang mukmin:jika mendapat nikmat ia bersyukur, maka syukurnya itu lebih baik baginya dan jikalau menderita kesusahan ia bersabar dan sabar itu lebih baik baginya". (H.R Muslim)

Seorang mukmin memiliki sifat sabar karena dia sadar bahwa sudah menjadi sunatullah, kehidupan dunia ini penuh dengan perjuangan dan pasti akan menemui rintangan dan cobaan, seorang mukmin akan sadar bahwa semua ujian dan rintangan yang ditemuinya berasal dari Allah dan segala sesuatunya itu kelak akan kembali kepada-Nya, seorang mukminm juga akan yakin dengan kesabarannya itu akan memperoleh ganjaran di akhirat kelak. Itulah sebenarnya keberhasilan dan kesuksesan bagi seorang mukmin. Dalam surat Al-Baqarah:ayat 155-156, Allah berfirman yang artinya:

"Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kekurangan harta jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira pada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘innalillahi wa inna ilaihi roji’un’." (Q.S. Al-Baqarah:155-156)

Memang sudah menjadi sunatullah bahwa kita harus berjuang dan sudah menjadi sunatullah juga bahwa setiap perjuangan itu akan menghadapi cobaan. Dan cobaan ini akan menjadi suatu ujian yang akan menentukan suatu keberhasilan dan kesuksesan seorang mukmin. Allah berfirman,"

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta goncangan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkata Rosulullah SAW dan orang-orang yang beriman bersamanya,’bilakah datangnya pertolongan dari Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (Q.S Al-Baqorah:214)

Dalam ayat lain Allah berfirman,

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar." (Q.S. 3:142)

Kisah orang-orang terdahulu bisa menjadi contoh pelajaran bagi kita bagaimana perjuangan mereka dalam menghadapi cobaan dan apa keberhasilan yang mereka peroleh. Kisah ashabul ukhdud dapat menjadi pelajaran bagi kita, karena kesabaran mereka memegang prinsip dan keyakinan yaitu beriman kepada Allah Yang Maha Esa. Mereka di coba akhirnya mereka dimasukkan kedalam api yang berkobar, sehingga ada riwayat yang menceritakan bahwa seorang ibu tidak tega melihat anaknya yang masih bayi untuk ikut masuk kedalam api, lalu terjadi suatu keajaiban, dimana anaknya yang bayi tersebut dapat bicara dengan mengatakan,

"Wahai ibu bersabarlah sesungguhnya engkau berada dalam kebenaran (al-haq)."

Kisah kehidupan Nabi merupakan contoh tauladan bagi kita, bagaimana ujian yang Nabi dan para sahabatnya hadapi diawal kemunculan Islam. cacian, celaan, tekanan, siksaan yang diterima para sahabat, sehingga Nabi perintahkan untuk berhijrah ke negeri Habsyah. Namun ujian dan cobaan tidak berhenti sampai disitu, ketika Nabi pergi ke Thaif untuk berdakwah, bukan sambutan yang di terima, malah lemparan batu dan kotoran, sehingga tanggal gigi Nabi. Masih banyak lagi cobaan-cobaan yang para sahabat hadapi, kalau bukan karena kesabaran dan ketabahan yang mereka miliki, tidak mungkin kemenangan dan kejayaan akan mereka peroleh. Itulah keberhasilan dan kesuksesan generasi pertama yang dididik langsung dimadrasah kenabian.

Ada dua hasil yang akan kita rasakan bagi diri kita, jika kesabaran itu sudah menjadi milik kita. Hasil yang akan kita rasakan dalam kehidupan dunia dan hasil yang akan kita peroleh diakhirat kelak. Dalam kehidupan di dunia, minimal kita kan memiliki perasaan ridha rela, memiliki ketenangan, perasaan bahagia, apalagi Allah telah menjajikan bahwa Allah akan menyertai orang-orang yang sabar. Kemudian dengan kesabaran dan ketabahan yang kita miliki, maka kemenangan, kemuliaan dan kebaikan akan terwujud bagi diri kita. Adapun buah (hasil) yang akan kita rasakan diakhirat kelak adalah kenikmatan yang tiada taranya yaitu kehidupan surga yang abadi. Wallahu a’lam bish hawab.

JUJUR KIAT MENUJU SELAMAT

Jujur adalah sebuah ungkapan yang acap kali kita dengar dan menjadi pembicaraan. Akan tetapi bisa jadi pembicaraan tersebut hanya mencakup sisi luarnya saja dan belum menyentuh pembahasan inti dari makna jujur itu sendiri. Apalagi perkara kejujuran merupakan perkara yang berkaitan dengan banyak masalah keislaman, baik itu akidah, akhlak ataupun muamalah; di mana yang terakhir ini memiliki banyak cabang, seperti perkara jual-beli, utang-piutang, sumpah, dan sebagainya.
Jujur merupakan sifat yang terpuji. Allah menyanjung orang-orang yang mempunyai sifat jujur dan menjanjikan balasan yang berlimpah untuk mereka. Termasuk dalam jujur adalah jujur kepada Allah, jujur dengan sesama dan jujur kepada diri sendiri. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa Nabi bersabda,
“Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.”
Definisi Jujur
Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga pada pelaku bid’ah; secara lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi, tetapi hakikatnya dia menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya). Allah berfirman,
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.” (Q.S. al-Maidah:119)
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. az-Zumar:33)
Keutamaan Jujur
Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena kejujuran merupakan mukadimah akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya kepada akhlak tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi,
“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan.”
Kebajikan adalah segala sesuatu yang meliputi makna kebaikan, ketaatan kepada Allah, dan berbuat bajik kepada sesama.
Sifat jujur merupakan alamat keislaman, timbangan keimanan, dasar agama, dan juga tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut. Baginya kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan.
Kejujuran senantiasa mendatangkan berkah, sebagaimana disitir dalam hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam dari Nabi, beliau bersabda,
“Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah. Seandainya mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang diperjualbelikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Sebaliknya, jika mereka menipu dan merahasiakan mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang yang diperjualbelikan, maka akan terhapus keberkahannya.”
Dalam kehidupan sehari-hari –dan ini merupakan bukti yang nyata– kita dapati seorang yang jujur dalam bermuamalah dengan orang lain, rezekinya lancar-lancar saja, orang lain berlomba-lomba datang untuk bermuamalah dengannya, karena merasa tenang bersamanya dan ikut mendapatkan kemulian dan nama yang baik. Dengan begitu sempurnalah baginya kebahagian dunia dan akherat.
Tidaklah kita dapati seorang yang jujur, melainkan orang lain senang dengannya, memujinya. Baik teman maupun lawan merasa tentram dengannya. Berbeda dengan pendusta. Temannya sendiripun tidak merasa aman, apalagi musuh atau lawannya. Alangkah indahnya ucapan seorang yang jujur, dan alangkah buruknya perkataan seorang pendusta.
Orang yang jujur diberi amanah baik berupa harta, hak-hak dan juga rahasia-rahasia. Kalau kemudian melakukan kesalahan atau kekeliruan, kejujurannya –dengan izin Allah- akan dapat menyelamatkannya. Sementara pendusta, sebiji sawipun tidak akan dipercaya. Jikapun terkadang diharapkan kejujurannya itupun tidak mendatangkan ketenangan dan kepercayaan. Dengan kejujuran maka sah-lah perjanjian dan tenanglah hati. Barang siapa jujur dalam berbicara, menjawab, memerintah (kepada yang ma’ruh), melarang (dari yang mungkar), membaca, berdzikir, memberi, mengambil, maka ia disisi Allah dan sekalian manusia dikatakan sebagai orang yang jujur, dicintai, dihormati dan dipercaya. Kesaksiaannya merupakan kebenaran, hukumnya adil, muamalahnya mendatangkan manfaat, majlisnya memberikan barakah karena jauh dari riya’ mencari nama. Tidak berharap dengan perbuatannya melainkan kepada Allah, baik dalam salatnya, zakatnya, puasanya, hajinya, diamnya, dan pembicaraannya semuanya hanya untuk Allah semata, tidak menghendaki dengan kebaikannya tipu daya ataupun khiyanat. Tidak menuntut balasan ataupun rasa terima kasih kecuali kepada Allah. Menyampaikan kebenaran walaupun pahit dan tidak mempedulikan celaan para pencela dalam kejujurannya. Dan tidaklah seseorang bergaul dengannya melainkan merasa aman dan percaya pada dirinya, terhadap hartanya dan keluarganya. Maka dia adalah penjaga amanah bagi orang yang masih hidup, pemegang wasiat bagi orang yang sudah meninggal dan sebagai pemelihara harta simpanan yang akan ditunaikan kepada orang yang berhak.
Seorang yang beriman dan jujur, tidak berdusta dan tidak mengucapkan kecuali kebaikan. Berapa banyak ayat dan hadist yang menganjurkan untuk jujur dan benar, sebagaimana firman-firman Allah yang berikut.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (Q.S. at-Taubah:119)
“Allah berfirman, ‘Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.’” (Q.S. al-Maidah:119)
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (Q.S. al-Ahzab:23)
“Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (Q.S. Muhammad:21)
Nabi bersabda,
“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu, sesungguhnya kejujuran, (mendatangkan) ketenangan dan kebohongan, (mendatangkan) keraguan.”
Macam-Macam Kejujuran
Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka.
Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran.
Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan seseorang, “Jikalau Allah memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan Allah.” Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana firman Allah:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (Q.S. al-Ahzab:23)
Dalam ayat yang lain, Allah berfirman,
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (Q.S. at-Taubah:75-76)
Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, “Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/jujur’”.
Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (Q.S. al-Hujurat:15)
Realisasi perkara-perkara ini membutuhkan kerja keras. Tidak mungkin seseorang manggapai kedudukan ini hingga dia memahami hakikatnya secara sempurna. Setiap kedudukan (kondisi) mempunyai keadaannya sendiri-sendiri. Ada kalanya lemah, ada kalanya pula menjadi kuat. Pada waktu kuat, maka dikatakan sebagai seorang yang jujur. Dan jujur pada setiap kedudukan (kondisi) sangatlah berat. Terkadang pada kondisi tertentu dia jujur, tetapi di tempat lainnya sebaliknya. Salah satu tanda kejujuran adalah menyembunyikan ketaatan dan kesusahan, dan tidak senang orang lain mengetahuinya.
Khatimah
Orang yang selalu berbuat kebenaran dan kejujuran, niscaya ucapan, perbuatan, dan keadaannya selalu menunjukkan hal tersebut. Allah telah memerintahkan Nabi untuk memohon kepada-Nya agar menjadikan setiap langkahnya berada di atas kebenaran sebagaimana firman Allah,
“Dan katakanlah (wahai Muhammad), ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.” (Q.S. al-Isra’:80)
Allah juga mengabarkan tentang Nabi Ibrahim yang memohon kepada-Nya untuk dijadikan buah tutur yang baik.
“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.” (Q.S. asy-Syu‘ara’:84)
Hakikat kejujuran dalam hal ini adalah hak yang telah tertetapkan, dan terhubung kepada Allah. Ia akan sampai kepada-Nya, sehingga balasannya akan didapatkan di dunia dan akhirat. Allah telah menjelaskan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, dan memuji mereka atas apa yang telah diperbuat, baik berupa keimanan, sedekah ataupun kesabaran. Bahwa mereka itu adalah orang-orang jujur dan benar. Allah berfirman,
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah:177)
Di sini dijelaskan dengan terang bahwa kebenaran itu tampak dalam amal lahiriah dan ini merupakan kedudukan dalam Islam dan Iman. Kejujuran serta keikhlasan keduanya merupakan realisasi dari keislaman dan keamanan. Orang yang menampakkan keislaman pada dhahir (penampilannya) terbagi menjadi dua: mukmin (orang yang beriman) dan munafik (orang munafik). Yang membedakan diantara keduanya adalah kejujuran dan kebenaran atas keyakinannya. Oleh sebab itu, Allah menyebut hakekat keimanan dan mensifatinya dengan kebenaran dan kejujuran, sebagaimana firman Allah :
“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Q.S. al-Hasyr:8)
Lawan dari jujur adalah dusta. Dan dusta termasuk dosa besar, sebagaimana firman Allah,
“Kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Q.S. Ali Imran:61)
Dusta merupakan tanda dari kemunafikan sebagaimana yang disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia mengkhianati.” (HR Bukhari, Kitab-Iman : 32).
Kedustaan akan mengantarkan kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan akan menjerumuskan ke dalam neraka. Bahaya kedustaan sangatlah besar, dan siksa yang diakibatkannya amatlah dahsyat, maka wajib bagi kita untuk selalu jujur dalam ucapan, perbuatan, dan muamalah kita. Dengan demikian jika kita senantiasa menjauhi kedustaan, niscaya kita akan mendapatkan pahala sebagai orang-orang yang jujur dan selamat dari siksa para pendusta. Waallahu A’lam.
“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik, agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S.az-Zumar:32-35)
Diambil dari majalah Fatawa
Referensi:
1. Makarimul-akhlaq, karya Syakhul-Islam Ibn Taimiyah ; cet. Ke-1. 1313 ; Dar- alkhair, Bairut, Libanon.
2. Mukhtashar Minhajul-Qashidin, karya Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisy, Maktabah Dar Al-Bayan, Damsiq, Suria.
3. Mukhtarat min Al-Khutab Al-Mimbariah, karya Syaikh Shalih ibn Fauzan ; cet. Ke – 1, Jam’iayah Ihya’ At-Turats Al-Islamy.
4. Syarh Riyadhus As-Shalihin, karya Syaikh Mahammad ibn Shalih Al-Utsaimin ; cet – 1 ; Dar- Wathan, Riyadh, KSA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar